Ibadah minggu, 31 Mei 2010. Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, M.Th membawakan kotbahnya yang didasarkan pada bacaan leksionari dari Roma 5: 1-5 dan Yohanes 16: 12-15. Di awal kotbahnya, Pdt. Ratih menceritakan perjuangan seorang uskup di El Savador. Oscar Romero, seorang uskup yang cerdas dan pendiam. Lebih tepatnya dia adalah seorang kutu buku, dan jarang bersosialisasi. Tetapi sekalipun dia adalah seorang pendiam, hatinya tidaklah diam. Hatinya tidak diam ketika melihat kondisi sosial di lingkungan pelayanannya.
Faktanya, El Savador adalah negara penghasil kopi. Tetapi kekayaan dari kopi itu tidak sampai kepada semua rakyatnya. Hanya 2% orang yang kaya di negara itu, dan ironisnya, 70% sumber daya alam dikuasai oleh 2% orang kaya itu. Banyak pengangguran dan banyak rakyat yangmati kelaparan. Kemiskinan dan ketidak adilan itu terjadi karena militer bekerjasama dengan penguasa dan pengusaha.
Melihat hal itu, hati Romero tidak diam. Dia merasa bahwa dia harus menyuarakan sesuatu, bertindak sesuatu untuk membebaskan warga dari persoalan ini. Awal perjuangannya dimulai di gereja tempatnya melayani. Banyak orang yang datang, berkumpul dan mendukung perjuangan Romero. Gereja menjadi pusat pergerakan. Akibatnya, Gereja dicurigai dan akhirnya memang Gereja mengalami ketidakadilan dari militer. Pernah suatu ketika Romero sedang memimpin ibadah, militer datang mengganggu, mengintimidasi dan bahkan merusak gereja dan perangkat perjamuan kudus, yang artinya tidak ada lagi penghormatan kepada Allah.
Tahun 1980, saat memimpin ibadah, Romero ditembak mati oleh sniper militer. Memang dia mati, tetapi suara kebenaran yang diperjuangkannya tidaklah mati. Rakyat yang mendukungnya meneruskan perjuangannya itu. Kematiannya tidak sia-sia, sebab kematiannya menyuarakan kebenaran.
Tidak hanya dulu, sekarangpun, kalau kita menyuarakan kebenaran pasti ada penolakan. Apakah kita mundur bila kita ditolak? Alkitab yang menjadi bacaan di atas menjadi dasar untuk kita tidak mundur.
Pertama, Roma 5:1 menyatakan bahwa orang percaya harus menyatakan kebenaran karena kita sudah 'dibenarkan' oleh iman kita pada Yesus Kristus. Bukan kita yang pada dasarnya benar, akan tetapi kita yang pendosa ini telah dianggap benar oleh Allah. Kedua, dalam kitab Yohanes tadi, Roh yang menuntun para murid adalah Roh Kebenaran supaya para murid hidup dalam kebenaran.
Dalam menyatakan kebenaran, pati ada tantangan. Tetapi Rasul Paulus menyatakan bahwa kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menghasilkan pengharapan akan kebenaran.
Yang namanya melakukan kebenaran, sekalipun ada tantangan, tidaklah sia-sia. Karena tantangan dalam cara pandang positif akan menghasilkan pribadi-pribadi yang tangguh.
Amsal 11: 4 menyatakan bahwa kalau kita ingin lepas dari maut, kita harus berpegang pada kebenaran. Amsal 11: 19 menyatakan kepada kita untuk mengejar kebenaran supaya kita hidup sedangkan Amsal 21:21 mengajar kepada kita untuk mengejar kebenaran karena itu akan menghadirkan kehidupan, kebenaran dan kehormatan.
Lagi pula, hidup benar lebih sehat dari pada hisup tidak benar. Hidup benar butuh lebih sedikit tenaga dari pada hidup merangcangkan kejahatan.
Lalu, kalau kita melakukan kebenaran, maka kebenaran yang mana? Kita dapati di dunia ini, bahwa kebenaran itu relatif. Tetapi kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang berasal dari Allah yang dinyatakan dalam Firman Tuhan. Maka kebenaran yang harus kita suarakan adalah kebenaran yang berdasarkan pada Firman Tuhan. Kebenaran yang terintegrasi dalam hidup kita melalui pengulangan-pengulangan dalam hidup kita. Sebagaimana bangsa Israel diajarkan untuk mengulan-ulang Firman Allah dalam hidup mereka, bahkan untuk menuliskannya di rumah-rumah mereka.
Jika kita berulang-ulang mendengar kebenaran Allah, berulang-ulang melakukan kebenaran Allah maka itu akan menguatkan kita untuk memperjuangkan kebenaran dalam hidup kita. Amin. (SePur)
Add comment