Ibadah minggu (9/10) jam 16.00 WIB di GKJ Manahan dilayani oleh Vikaris Samuel Arif Prasetyono, S.Si dengan kotbah yang didasarkan dari Surat Filipi 4: 1-9. Diawal kotbahnya, Samuel mengenakan blangkon. Dengan blangkon ini, hendak ditunjukkannya bahwa blangkon telah menjadi ciri identitas bagi orang jawa. Mengapa blangkon menjadi cirikhas jawa? Siapakah yang menentukan bahwa blangkon harus menjadi ciri khas orang jawa? Atau mungkin koteka menjadi ciri khas orang Papua dan lain-lain. Bukan Tuhan atau raja yang menentukan, melainkan komunitas. Jika banyak orang menyatakan sebuah ciri tertentu menjadi simbol bagi suatu suku tertentu, maka istilah khas itu dilekatkan.
Lanjut dalam kotbahnya, Samuel menjelaskan mengenai falsafah blangkonyang bila diperhatikan ada yang bermakna negatif maupun positif. Di bagian belakang blangkon bisa kita lihat ada mondol. Artinya bila dilihat dari depan orang jawa tampak rapi, baik tetapi di belakang ternyata ada mondolnya, bisa diartikan menyimpan sesuatu yang berkebalikan dari yang diperlihatkan di depan yang rapi dan tertata. Bisa diartikan negatif bahwa dalam tutur kata, orang jawa ramah di depan orang lain, tetapi dibelakangnya menggunjing. Selain itu, falsafah positifnya adalah jika ditelusuri sejarah bahwa orang laki-laki jawa zaman dulu berambut panjang, mondol itu berguna untuk menata rambut supaya kelihatan rapi, sebab mondol ini (berupa gulungan) berisi gulungan rambut yang sudah dirapikan pemakainya. Hal ini bermakna bahwa orang jawa bisa menahan hawa nafsu.
Ditengah pergumulan di dunia sekarang ini, sulit bagi kita untuk mempertahankan identitas atau ke-khas-an kita. Contohnya, bila telah lama merantau ke tempat lain, mungkin dalam beberapa tahun sudah lupa dengan bahasa dan adat istiadat asalnya. Hal ini terjadi karena komunitas yang baru tidak sama identitasnya dengan yang lama. Komunitaslah yang menentukan identitas. Bila merantau keluar, dan tetap tinggal dengan orang-orang yang sama identitasnya, maka identitas kita akan selalu terjaga.
Kitab suci adalah identitas kita. Dalam beratnya hidup di dunia ini orang Kristen bisa kehilangan identitas kekristenannya karena komunitas di sekelilingnya berbeda dari identitas kristen. Mari kita belajar dari jemaat Filipi yang mayoritas dari komunitas sekitar mereka adalah veteran perang. Veteran yang bila kembali ke masyarakat biasanya akan mengalami gegar budaya dan identitas. Prajurit-prajurit biasa menyembah dewa-dewi, dan hal inilah yang sedang dihadapi oleh mereka, selain daripada tekanan orang-orang Yahudi sendiri atas hal-hal lahiriah yang dipaksakan untuk dilakukan.
Berbeda dari surat-surat Paulus kepada jemaat lain, dalam surat ini Paulus berbahagia dalam menulisnya. Sebab jemaat Filipi memberikan persembahan yang melimpah untuk mendukung jemaat di Yerusalem, bahkan mereka juga mendukung hidup Paulus dengan persembahan yang mereka berikan. Padahal jika dilihat, jumlah mereka tidaklah banyak sebab mereka masih terhitung baru dalam kekristenan.
Dalam ayat 5, Paulus menyatakan bahwa hendaknya kebaikan mereka diketahui semua orang. Supaya kasih yang mereka lakukan menjadi identitas mereka di dalam Kristus. Menumbuhkan kebaikan dan kasih adalah anugerah identitas kita dari Allah.
Sekali lagi, komunitas penting untuk menjaga identitas kita tetap melekat. Dalam kehidupan bergereja, ada komunitas-komunitas, mulai dari blok-blok, kelompok-kelompok tumbuh bersama, dan persekutuan-persekutuan kategorial yang bisa kita manfaatkan untuk menjaga identitas kita. Mari kita hidup dalam persekutuan karena itulah yang membuat kita bertahan menghadapi dunia yang penuh pergolakan. [SePur]
Add comment